Pages

Selasa, 04 September 2012

Kala Rindu Menyerukan Namamu


Ma, apakah mama dengar hatiku?
Ritmenya selaras tapi sendu
Warnanya tenang teduh tapi kelabu
Semua pertanda aku rindu
Ma, aku rindu

Rasanya agak lain hari ini, ma
Mengapa waktu membawaku kepada kenangan tentangmu
Yang telah jauh dalam kukubur beserta pedih pilu
Mengapa waktu menyeretku kembali ke dalam rindu akanmu
Setelah aku bertaruh dengan diriku untuk melupakan hangatmu

Ma, aku tidak membencimu
Hanya mengingatmu selalu memaksaku mengerjapkan mataku
Dan diakhiri menetesnya air mata membasahi bantalku
Karena rindu memukulku bertalu-talu
Dan kenyataan mengunciku tersedu
Tanpa bisa menyentuh hadirmu
Menyisakan seonggok rasa yang tak seorangpun tahu
Maka kuputuskan tidak lagi mengingat apapun tentangmu

Ma, berdosakah aku?
Dalam hati terus menyebut namamu
Padahal garis-Nya menyatakan kau dan aku tidak lagi satu
Tapi, apakah tidak sama berdosanya bila kubohongi hatiku?
Karena isak yang tertahan ini hanya bergema rindu
Kalau rinduku bisa kuraih sedikit saja di kalbu,
Mungkin aku lebih berani menatap foto wajahmu
Masalahnya tujuh tahun telah berlalu
Dan hari ini bangkitlah semua sepiku
Nyatanya kau lebih dulu pergi meninggalkanku

Ma, aku bersyukur kepada Allah ketika mengingatmu
Tak peduli betapa besarnya pedih torehan luka itu
Tetapi cukup berbahagia diriku
Boleh menikmati sepuluh tahun bersamamu
Kini tak mau lagi kurajakan pedihnya rindu
Tetapi kusyukuri rinduku padamu
Menantikan waktu-Nya menyatukan lagi kau dan aku
Di rumah-Nya tempat segala sukacita menyatu
Tidak ada lagi sedu sedan ataupun kertak pilu
Hanya senyummu dan senyumku
Yang bersatu dalam pelukan Sang Batu Penjuru

Sabtu, 01 September 2012

Ku Memilih Yesus, Bukan Harta: Sebuah Gema Konfirmasi

Kalau hari ini ada, sebenarnya saya tidak pantas menerima.
Namun setia-Hu selalu terasa, menarik saya kembali pada-Nya.

Hari ini, sekian lama setelah saya meninggalkan kesukaan saya berwaktu teduh bersama-Nya. Ya, beberapa hari belakangan ini saya sudah tidak pernah bersaat teduh tiap pagi, seperti yang dulu selalu saya nanti-nantikan. Entah alasan apa yang mungkin kedengaran masuk akal dan bisa saja saya buat-buat, tetapi kenyataan sesungguhnya hanya satu ini masalahnya: saya malas.
Nah, ini agak lucu kedengarannya, saudara-saudara. Rasanya bodoh sekali memikirkan saya malas bersaat teduh, di tengah-tengah pengetahuan dan perkataan Firman Tuhan yang mungkin sudah “seabrek” saya ketahui. Mestinya, kan, selaras juga dengan kemandirian dan kedisiplinan saya dalam hubungan pribadi dengan Tuhan. Ternyata, dalam kasus ini, saya tidak lebih dari para Farisi yang hanya ngomong doang dalam imannya!
Bersyukur, sangat bersyukur, malam Jumat (entah Kliwon apa bukan) ini, Tuhan mengutus kakak saya terkasih, dr. Sandy Grace Tindage (ah, sebenarnya dia belum dokter, tapi saya suka banget menambahkan gelar impiannya itu di depan namanya. Gak apa-apa, ya, kak J), untuk membantu saya menyadari sisi gelap hati saya yang salah dan—nyaris—kalah malam itu. Tuhan memanggil saya berbalik lagi pada saat itu, dan lihat, panggilan Tuhan untuk kembali kepada-Nya bukanlah hak saya seharusnya. Dalam kondisi seperti ini, dan ini sudah yang kesekian kali, mestinya layak bagi saya untuk tidak lagi diampuni. Tapi, oh terlalu baiknya Tuhan itu! Anugerah-Nya, yang diberikan kepada saya yang tidak layak ini, nyata malam ini dan membawa saya kembali kepada suatu perjumpaan yang manis dan indah bersama-Nya.
Dalam kesempatan pertemuan dengan kakak dokter saya malam ini, saya sempat menceritakan sebuah kegalauan saya, dimana saya yang sekarang di tingkat terakhir ini harus memilih: apakah setamat dari sekolah langsung pergi sekolah Alkitab untuk melayani Tuhan sepenuh waktu, atau tunda setahun dulu untuk kerja? Kakakku itu tidak memberi banyak jawaban sih, dia hanya bilang doakanlah. Nah, saat itu mulailah terbongkar kondisi yang sesungguhnya, dimana belakangan ini saya sudah tidak lagi bersaat teduh maupun berdoa secara pribadi.
Singkat cerita, menutup obrolan kami yang cukup panjang malam itu, kami pun berdoa bersama. Dalam doa kami, saya secara pribadi memohon ampun kepada Tuhan dan memohon kasih karunia Tuhan untuk memperbaiki kehidupan kerohanian saya.
Selepas pulangnya kakak itu dari rumah saya, akhirnya saya memilih mandi (ah, ini juga setelah melewati pergumulan kemalasan). Setelah mandi, saat sedang bersisir di depan kaca, entah mengapa saya teringat sepenggal bait lagu: “Gembalakanlah kawanan domba Allah, yang dipercayakan-Nya padamu” dibarengi cerita kesempatan kedua yang Tuhan Yesus berikan kepada Petrus, “Gembalakanlah domba-domba-Ku”
Ah, sepertinya saya mendapat suatu insight yang menarik! (Eh, sebelumnya, saudara-saudara, saya pastikan dulu, insight itu maksudnya semacam inspirasi gitu, kan? Bukan penglihatan yang serem-serem, lho, maksud saya). Begini, saudara-saudara. Tadi kan saya berdoa mohon ampun sama Tuhan dan minta kesempatan pemulihan HPdT (Yaah, HPdT itu singkatan dari Hubungan Pribadi dengan Tuhan, saudara-saudara), lalu seolah Tuhan berbicara secara pribadi kepada saya, kesempatan kedua yang Tuhan mau berikan buat saya bukan hanya kesempatan perbaikan waktu teduh, melainkan kesempatan untuk Tuhan berikan kepercayaan dalam pelayanan pastoral, seperti Petrus yang tidak hanya diberi kesempatan bertobat, melainkan juga menggembalakan kawanan domba Allah. Saudaraku, suatu hak istimewa bagi saya si pendosa bebal ini, dan kenyataan ini sungguh membuat saya luluh di hadapan Tuhan. Saya merasa begitu lega, tetapi juga begitu terhormat, mendapat otoritas panggilan pelayanan sepenuh waktu dari Allah. Oke, ini satu tanda kecil yang menjawab kebimbangan saya tadi, menurut saya.
Nah, yang menarik, saudara-saudara, konfirmasinya sepertinya tidak cuma sekali terjadi sepanjang malam ini! Ketika akhirnya saya berdoa dan mengungkapkan banyak hal kepada Allah (yeah, kenyataannya saya yang gengsian ini pasti selalu mellow kala berdoa), termasuk pilihan langsung pergi ke seminari atau bekerja dulu selepas sekolah, saya minta Tuhan bukakan bagian firman-Nya bagi saya malam ini. Dan setelah tidak pernah dibuka sekian lama, saudara-saudara, akhirnya malam ini saya kembali membuka Alkitab dan bahan renungan saya! (Ayo pakai sound effect yang keren pada saat membaca bagian ini!)
Tidak disangka dan tidak diduga, saudara-saudara, bagian firman Tuhan malam ini adalah Lukas 18:18-30, yaitu orang kaya yang saleh dan sempurna menjalankan Taurat bertanya kepada Yesus bagaimana caranya beroleh hidup yang kekal, lalu ketika Yesus berkata padanya untuk mejual seluruh hartanya, ia menjadi teramat sedih. Saya menemukan suatu fakta yang menarik di bagian ini, dimana orang kaya tersebut, meskipun telah menjalankan taurat dengan sempurna sejak masa mudanya, tetap saja dalam hidupnya ada kekosongan, ketidakpuasan, or something like that, yang dikarenakan tidak adanya kepastian hidup kekal dalam dirinya. Dan Yesus membawanya kepada satu prinsip terpenting dalam kehidupan Kekristenan: lepaskan semua yang ada padamu dan serahkan hidupmu seutuhnya jadi milik Yesus.
Saudaraku, bayangkanlah, saya yang sedang galau memilih langsung sekolah Alkitab atau kerja dulu, kemudian diperhadapkan dengan nats seperti demikian! Bukan ayat-ayat pengutusan pelayanan sepenuh hati seperti “Ini aku, utuslah aku!”, melainkan hanya sebuah bagian cerita kecil dari kitab Sinoptik terakhir, “Juallah seluruh hartamu... Ikutlah Aku.” Hei, bagi saya, perikop ini begitu dalam memanggil saya kembali kepada prioritas hidup saya—ehm, mungkin lebih tepat saya bilang visi hidup—memilih Yesus lebih dari semua!
Panggilan dalam bagian firman Tuhan kali ini rasanya begitu kuat terdengar. Panggilan yang bergaung bagi saya untuk terus melayani Kristus dan menanggalkan seluruh harta dunia yang berpotensi saya kejar. Melayani Kristus dan menanggalkan seluruh pencapaian-pencapaian duniawi yang fana sifatnya. Melayani Kristus sepenuh waktu tanpa peduli akan diri sendiri, apa yang saya makan-minum-pakai pasti tersedia dalam pemeliharaan-Nya. Melayani Yesus dan melupakan harta!
Saudaraku, satu lagi yang begitu luar biasa dan tidak terbayangkan di benak saya. Di akhir dari teks renungan yang saya baca malam itu, tertera sebait pujian yang begitu bermakna bagi saya pribadi. Pujian ini adalah pujian yang pertama kali dulu memanggil saya kepada pelayanan sepenuh waktu di ladang-Nya. Pujian ini yang selalu memberi kekuatan dan peneguhan ketika saya hampir-hampir merasa pelayanan sepenuh waktu bukan lagi menjadi panggilan Tuhan bagi saya. Pujian ini—sekali lagi—Tuhan berikan di malam ini, kala saya sedang galau-galaunya dalam meresponi panggilan-Nya!
Saudara, bisakah engkau mengerti perasaan dan pikiran saya saat ini? Apa yang ada di benak Tuhan memberikan tiga konfirmasi berturut-turut di tengah kebimbangan hati saya, bahkan kalau engkau ingat, malam ini adalah pertama kalinya saya bersaat teduh kembali setelah beberapa hari meninggalkannya! Mengapa Tuhan mengkonfirmasikan suatu kepercayaan pelayanan yang begitu penting kepada seorang pendosa seperti saya? Oh Tuhan, tentu terlalu besar kasih-Mu yang tidak dapat lagi kumengerti, dan tidak sanggup lagi kukhianati!
Saudara, malam ini, lagu pujian yang selalu Tuhan pakai menguatkan saya untuk konsisten mempersiapkan diri melayani-Nya sepenuh waktu itu, dipakai-Nya lagi. Dan setiap kali saya mendengar atau melihat pujian tersebut, getaran hati ini memang tak pernah padam dan terus meyakini hati kecil saya untuk tetap terjun ke dalam pelayanan sepenuh waktu bersama-Nya.
Pada akhirnya, sudara-saudara, dalam doa malam saya kepada Tuhan, saya berkomitmen kembali menjawab “YA!” untuk semua panggilan Tuhan buat saya, tanpa kompromi apapun. Keraguan tetap ada, ketakutan juga ada, tetapi saya mau serahkan semuanya ke dalam tangan Tuhan. Tuhan yang memanggil, Tuhan yang memampukan, Tuhan yang dimuliakan!
Okelah, saudaraku, di akhir dari tulisan ini, terlebih dahulu saya harus berterimakasih. Berterimakasih kepadamu karena tentu engkau telah setia mendoakan saya. Berterimakasih kepadamu atas kekuatan dan dukungan yang begitu berarti yang telah kau torehkan dalam hidup saya. Terlebih-lebih, terimakasih karena engkau telah sedia waktu menyimak cerita-cerita saya di blog ini!
Satu permohonan saya, saudaraku, tetaplah mendoakanku. Doakanlah saya agar saya tetap dalam jalan-Nya. Engkau tentu tidak akan memuji Tuhan Yesus, apabila seseorang yang saat ini bersaksi tentang peneguhan yang baru saja diterimanya untuk melayani sepenuh waktu, ternyata suatu hari nanti kau dapati membelok dan berbalik dari jalan kebenaran yang seharusnya.
Engkau tentu tidak akan memuji Tuhan Yesus, apabila suatu hari nanti kau temui hidupku tidak jadi pekabar Injil, malahan hanya merusak Injil!
Untuk itu, saudaraku terkasih, doakanlah aku!
Dan ketika kau mendapatinya: saat-saat aku mempertanyakan Tuhan, saat-saat aku beralih, saat-saat aku kehilangan pijakan, saat-saat aku jatuh, saat-saat aku galau, saat-saat aku tidak berintegritas, dan saat-saat buruk lainnya dalam hidupku, kumohon, saudaraku, nyanyikanlah lagi pujian ini bagiku!

Kumemilih Yesus bukan harta,
Dan Dia milikku melebihi semua
Kumemilih Yesus, bukan ladang
Biar tangan-Nya yang menuntunku.
Ku tak mau jadi raja penguasa
Namun dib’lenggu dosa
Kumemilih Yesus lebih indah dari semuanya!
-KPPK 325/BLP 196-

Senin, 27 Agustus 2012

Cinta Pertama Kali...


Tuhan, terimakasih buat rasa yang Kau taruhkan di hatiku
Menandakanku benar adalah ciptaan-Mu
Yang Kau bentuk selaras  gambar rupa-Mu
Dan waktu-waktunya terus berlalu dalam rajutan-Mu
Hingga kini kurasakan rasa yang berpadu pada waktu-Mu
Waktu remajaku

Tuhan, terimakasih buat hadirnya
Yang tidak rupawan dan tidak pernah membuatku deg-degan
Namun tiap hadirnya terasa representasi-Mu yang menenangkan
Meskipun bukan cendekiawan ataupun jagoan
Yang pasti dia hidup dalam kebenaran
Dan mengabdikan dirinya dalam dunia pelayanan

Tuhan, terimakasih buat ketetapan hatiku
Yang terus Engkau jaga sesuai rencana-Mu
Ku tahu bukan aku melainkan roh-Mu
Membawaku ke dalam satu prioritas yang selaras dengan-Mu
Sekarang bukan waktunya melainkan waktu-Mu
Aku bukan miliknya atau milik rasaku melainkan tetap milik-Mu

Tuhan, ambil diriku
Sedapat mungkin erat dengan-Mu
Jangan sampai jatuh aku ke dalam jerat musuh-Mu
Sebab rentan sekali usia dan perasaanku

Tuhan, kuserahkan bagi-Mu
Hatiku, pikiranku, perasaanku, bahkan tindak-tandukku
Taklukkanlah itu dibawah daulat-Mu
Biar fokusku hanya diri-Mu

Tuhan, jangan sampai rasaku menyakiti-Mu
Tapi biarlah Kau pakai jadi kemuliaan nama-Mu
Dalam koridor rencana dan waktu-Mu yang tak pernah rancu
Sebab hanya Engkau yang paling mengenal diriku
Karena Engkaulah Tuhan atas hidupku
Yang juga berkuasa atas cintaku.

Dalam nama Tuhan Yesus, Sang Pemberi rasa cinta itu
Kuserahkan cintaku jadi kemuliaan nama-Nya

Sabtu, 18 Agustus 2012

Rahasia Kekuatan Persekutuan


RAHASIA KEKUATAN PERSEKUTUAN
Filipi 2:1-11

Mari kita mulai dengan suatu pertanyaan. Apakah Rasul Paulus hanya merupakan seorang penginjil saja? Ehm, maksud saya begini: apakah Rasul Paulus merupakan seorang yang memiliki hanya karunia penginjilan saja? Kalau menurut saya, jawabannya tidak. Bagaimana menurut Anda?

Mungkin Anda bilang, loh kok jawabannya tidak. Jelas-jelas dalam surat Korintus, Paulus pernah bilang “… aku menanam, Apolos menyiram…” (I Kor 3:6). Menanam disini kan konteksnya menanam benih firman Tuhan, nah itu berarti penginjilan, bukan? Oke, argumen Anda bisa diterima. Dan memang argumen Anda tersebut tepat sekali!

Tetapi, saya mau ajak Anda melihat jawaban saya. Menurut saya, Paulus tidak hanya berkarunia penginjilan. Dalam surat-suratnya di sepanjang Perjanjian Baru, kita bias melihat banyak karunia-karunia lain yang dimiliki Paulus. Misalnya karunia menulis. Dalam 1 Korintus 10:10 malah Paulus pernah mengatakan, menurut sebagian orang, ia lebih fasih menulis daripada berbicara. “Sebab, kata orang, surat-suratnya memang tegas dan keras, tetapi bila berhadapan muka sikapnya lemah dan perkataan-perkataannya tidak berarti”. Apakah ini mengindikasikan Paulus adalah seorang yang grogi-an? Lalu, selain menulis, menurut saya Paulus juga memiliki karunia pertukangan. Dalam Kisah Rasul 18:3, tercantum “….karena mereka sama-sama tukang kemah.”

Tentu masih banyak karunia-karunia lain yang ada dalam diri Paulus. Tetapi salah satunya yang menjadi paling menarik buat saya secara pribadi, adalah karunia pastoral yang dimiliki Paulus. Memang, Paulus bukan gembala di suatu jemaat tertentu. Ia hanya pergi mengabarkan Injil ke suatu daerah, tinggal disana bersama-sama penduduk setempat untuk sementara waktu, lantas pergi ke daerah lain. Namun demikian, jelas terlihat dalam hamper seluruh surat-suratnya, Paulus mampu mengingat berbagai detil peristiwa yang ia lalui di wilayah tertentu, bahkan ia mampu menyebutkan nama-nama orang yang ia layani. Jelas ini bukan kemampuan pastoral yang diperoleh secara akademis, melainkan karunia Allah sendiri, bukan?

Nah, perikop yang kita baca hari ini, bagi saya terasa seperti surat pastoral-nya Paulus kepada jemaat Filipi. Mengapa pastoral? Mari melihat perikop-perikop sebelumnya. Kita dapat menemukan doa dan kesaksian Paulus, antara lain berbicara tentang pengalaman pelayanannya dan pengalaman spiritualitasnya bersama Tuhan. Namun, di perikop ini, kita dapat menemukan nasehat Paulus kepada jemaat Filipi. Rasa-rasanya saya seperti membaca sebuah surat pembimbingan pastoral dari seorang Bapak Gembala yang sedang terpisah jauh dengan jemaatnya, tetapi hatinya begitu melekat dengan para jemaatnya itu. Duh!

Surat pastoral ini bukan surat pastoral biasa. Surat pastoral ini amat powerful! Hanya dengan membacanya saja, sungguh, terasa begitu dalam kerinduan dan keintiman hubungan rohani Paulus dengan jemaat Filipi. Paulus tidak hanya memberikan mereka serentetan daftar peraturan do’s and dont’s, melainkan ia menuliskan sebuah pembimbingan nyata yang begitu tulus meluap dari hati misinya. Paulus menasehatkan jemaat Filipi agar terus bertumbuh dalam persekutuan dengan Kristus dan dengan sesama orang percaya. Suatu nasehat yang tentu begitu menguatkan jemaat Filipi yang sedang “kehilangan” bapak rohani mereka. Suatu surat yang seolah-olah berkata: “Jangan takut! Meskipun aku dipenjara, kalian harus tetap bertumbuh dan berbuah!” Begitu menguatkan.

Terlebih-lebih, dalam perikop ini terdapat suatu rahasia yang amat menarik, yaitu rahasia kekuatan persekutuan orang-orang percaya. Rahasia-rahasia ini amat relevan untuk diterapkan dalam kehidupan persekutuan kita masing-masing, baik persekutuan gereja, persekutuan kampus/sekolah, persekutuan kantor, dan sebagainya. Apa sajakah rahasia kekuatan persekutuan itu?

1.       Persekutuan yang Mengenal Allah
Oke, ini rahasia pertama yang juga merupakan rahasia terpenting dari segala bentuk persekutuan Kristen. Pertama-tama harus memiliki ini dulu. Mari lihat ayat 1a, “Jadi karena di dalam Kristus…” Paulus mengawali keseluruhan perikop ini dengan frasa “di dalam Kristus”. Persekutuan orang percaya berbeda dengan paguyuban ataupun organisasi manapun. Persekutuan orang percaya dibangun dan berdiri di dalam Kristus. Nah ini syarat mutlak dari suatu persekutuan Kristen. Sudah menjadi persekutuan yang tidak sehat (atau mungkin tidak dapat dikatakan persekutuan lagi) apabila tidak berada di dalam Kristus. Setelah persekutuan tersebut dimulai di dalam Kristus, persekutuan tersebut juga harus membawa orang-orang di dalamnya untuk mengenal Kristus. Nah ini bisa kita perhatikan di ayat 5-11, dimana Paulus menuntun jemaat Filipi untuk memperlengkapi dirinya dengan pikiran dan perasaan Kristus, untuk membuat persekutuan sesama jemaat semakin hangat dan kuat, dengan tujuan akhirnya adalah untuk membawa segala sesuatu tunduk dalam nama Yesus Kristus. Jadi persekutuan yang sehat adalah persekutuan yang mengenal Allah, dalam arti: dibangun dan berdiri di dalam Kristus, serta membawa jiwa-jiwa semakin mengenal Kristus. Sudahkah persekutuan kita mengenal Allah?

2.       Persekutuan yang Mengenal Diri Sendiri
Rahasia kekuatan persekutuan yang kedua setelah pengenalan akan Allah adalah pengenalan akan diri sendiri. Hal ini bisa kita tarik dari ayat 2 “…hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan,” juga dari ayat 3 dan 4 yang mengulangi sebanyak dua kali frasa“….kepentingannya sendiri…” Di ayat-ayat tersebut, memang orientasi nasehat Paulus adalah untuk kesatuan jemaat dengan semangat kepedulian kepada sesama. Namun bila kita melihat lebih dalam kalimat-kalimat di ayat-ayat tersebut, kita akan dapat menemukan sebuah prinsip logis, yaitu tidak mungkin seseorang dapat mengenal orang lain bila ia tidak mengenal dirinya sendiri. Tidak mungkin seseorang dapat mengerti orang lain bila ia belum mengerti bagaimana dirinya sendiri. Tidak mungkin seseorang dapat memahami kebutuhan orang lain, bila ia tidak memahami apa kebutuhannya sendiri. Frasa sehati, sepikir, satu hati, satu jiwa, satu tujuan, tentu maksudnya adalah untuk membawa jemaat kepada kesatuan. Tetapi tidak boleh dilupakan bahwa masing-masing orang, sebagai satu pribadi, memiliki hatinya sendiri, pikirannya sendiri, jiwanya sendiri, tujuannya sendiri, dan bahkan kepentingannya sendiri! Nah, bagaimana seseorang bersekutu sebenarnya adalah tentang bagaimana ia mengenal dirinya: apa kekurangan-kekurangannya, apa kelebihan-kelebihannya, apa keinginan atau target pencapaiannya, apa kebutuhannya, dan kemudian setelah ia mengenal dengan baik siapa dirinya, barulah ia dapat menempatkan dirinya dalam keunikan dan kekhasan persekutuannya, bersama dengan orang-orang di sekitarnya. Nah, hal ini juga mesti dimengerti secara menyeluruh dan seimbang. Bukan berarti orang itu mengenal diri dulu lantas baru masuk persekutuan, kalau belum mengenal dirinya tidak boleh masuk persekutuan. Tidak, karena tidak ada yang bisa mengenal diri kita selain Allah. Maka, dalam perjalanan kehidupan bersekutu itu sendirilah akan dibukakan satu persatu siapa diri kita dan semakin kita dimampukan untuk menempatkan diri di tengah-tengah persekutuan. Marilah semakin mengenal diri untuk bersekutu dan semakin bersekutu untuk mengenal diri!

3.       Persekutuan yang Mengenal Sesama
Nah ini adalah rahasia terakhir, sekaligus rahasia pelengkap dari keseluruhan rahasia kekuatan persekutuan. Tentu dalam bersekutu kita akan berinteraksi bersama-sama orang lain yang mungkin berbeda suku, latar belakang, gaya hidup, kebiasaan, hobi, pendidikan, status sosial, dan sebagainya. Untuk itu diperlukan pengenalan yang benar satu sama lain. Dengan mengenal sesama, barulah dapat tercapai tujuan akhir yang Paulus tekankan bagi jemaat Filipi, yaitu saling bersinergi untuk semakin mengenal dan mewartakan Kristus. Dengan saling mengenal barulah kesatuan tubuh Kristus itu dapat tercipta. Perlu diperhatikan, untuk saling mengenal kita perlu memiliki beberapa sikap yang sudah Paulus tuliskan disini, yaitu sehati sepikir, mau menyamakan persepsi kea rah yang lebih baik dan terbaik. Bukan pendapatku atau pendapatmu, melainkan pendapat terbaik. Kemudian tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Bila bisa dirangkum, mungkin istilah yang tepat untuk dipakai adalah rendah hati. Dan yang terakhir, diperlukan sikap saling terbuka, untuk menceritakan kebutuhan satu sama lain, supaya orang lain juga dapat mengetahui apa kebutuhan kita. Sangat egois bila kita mengharapkan orang lain (sepersekutuan) mengetahui atau memperhatikan kebutuhan kita tapi kitanya sendiri diam-diam terus, tidak pernah mengindikasikan kalau kita membutuhkan sesuatu. Pertanyaannya, sejauh mana persekutuan kita sudah mengenal sesama?

Mari kita bersama-sama menerapkan tiga rahasia kekuatan persekutuan tersebut dalam kehidupan persekutuan kita masing-masing, hingga pada hari-Nya nanti semua tujuan terciptanya persekutuan Kristen di seluruh belahan dunia dapat tercapai, yaitu “supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: “Yesus Kristus adalah Tuhan,” demi kemuliaan Allah, Bapa!” (Filipi 2:10-11)

Terhambat Justru Merambat

TERHAMBAT JUSTRU MERAMBAT
Filipi 1:12-30

Kehidupan manusia tidak akan pernah lepas dari berbagai masalah dan persoalan. Zaman Perjanjian Lama, Musa juga sudah menuliskan dalam Mazmurnya, ".....kebanggaannya ialah kesukaran dan penderitaan..." (Mzm 90:10). Tidak peduli dia sudah lahir baru atau belum. Orang Kristen sekalipun, yang sudah percaya Tuhan Yesus dan akan beroleh kehidupan kekal, tetap akan mengalami berbagai kesukaran dan penderitaan.

Hal serupa dialami Paulus. Ketika ia menulis surat yg ditujukan utk jemaat Filipi, ia sedang berada di dalam penjara Roma. Tentu dipenjara bukanlah sesuatu yang menyenangkan, hal ini terbukti dari gaya penuturan Paulus dalam perikop yang kita baca ini, banyak kalimat-kalimat yang begitu personal dan seperti sedang "curhat" kepada jemaat Filipi.

Kita akan dapat menemukan sisi kemanusiaan Paulus yang menginginkan kesukaran dan penderitaan yang ia alami tersebut berhenti, dan lebih memilih kembali ke sorga bersama-sama dengan Allah, dimana tidak ada lagi kesukaran dan penderitaan (ayat 23). Namun, kita justru akan lebih dapat menemukan ungkapan sukacita Paulus dengan masalahnya! Misalnya, di ayat 12-14, Paulus bersukacita karena pemenjaraannya justru telah membawa kemajuan penginjilan. Lebih besar dari keinginan Paulus utk cepat-cepat kembali ke sorga, adalah kerinduannya utk tetap bertahan dan berjuang melewati deritanya, utk tetap berdampak bagi dunia.

Setidaknya kita bisa temukan 3 cara Paulus memandang masalah sebagai kesempatan utk berbuah lebih banyak, hingga pada akhirnya memampukannya utk bersukacita dengan penderitaannya:

1.     Paulus memandang hidup secara utuh dalam perspektif Allah

Kehidupan orang Kristen maupun orang non-Kristen sama-sama dipenuhi berbagai kesukaran dan penderitaan. Bedanya, orang yang sudah lahir baru akan dimampukan Allah melalui Roh Kudus utk memandang hidupnya sebagai anugerah. Orang Kristen dimampukan memandang hidup secara utuh dan menyeluruh sebagaimana kacamata Allah memandang. Hidup tidak dilihat sepotong-sepotong. Tidak melihat hanya masalah yg sedang dihadapi saja lalu menggerutu: "Allah tidak adil!" atau "hidupku kecelakaan!". Lebih daripada itu, kita dimampukan memandang masa-masa hidup kita yg lain, tidak hanya pada masalah itu saja. Pengalaman pertolongan Allah di masa lampau menimbulkan pengharapan utk masa depan. Hidup kita seperti sebuah gambar puzzle, dan masalah yg sedang kita hadapi saat ini adalah sekeping diantara keseluruhan puzzle tersebut. Memang saat ini kita belum bisa melihat gambar puzzle tersebut secara sempurna, tapi kita bisa percaya Allah tidak akan salah rangkai. Malahan, tanpa sekeping puzzle "masalah" kita, keseluruhan gambar akan menjadi kurang lengkap dan kurang indah dipandang.

 2.       Paulus menempatkan Kristus sebagai satu-satunya pusat hidup

Paulus mampu bertahan di tengah-tengah penderitaannya, karena ia mengerti hidupnya bukan ia lagi (Gal 2:20) melainkan hidupnya adalah Kristus (Filipi 1:21). Selama kehidupan Paulus, segala sesuatu adalah tentang Kristus. Mengalami kesenangan, kalau Kristus kehendaki, ya dijalani. Mengalami kesukaran, kalau Kristus izinkan terjadi, ya dijalani. Jadi tidak ada soal-menyoal dirinya sendiri, kok aku begini ya? Kok hidupku susah ya? Tidak. Karena hidupku adalah Kristus, tidak mungkin Kristus salah menempatkan peristiwa di dalamnya. Karena hidupku Kristus, sesulit apapun derita, bukan aku sendiri yg alami, karena Kristus juga mengalaminya. Kristus juga berjuang di dalamku dan bersama-sama denganku. 

 3.       Paulus percaya bahwa kesudahan semuanya ialah jaminan kehidupan kekalPaulus mengerti betul, penderitaan yg dialaminya merupakan bagian dari kasih karunia yg ia peroleh sepaket dengan anugerah keselamatannya (ayat 29). Kasih karunia demi kasih karunia diterima orang percaya selama hidup di bumi, dan pemersatu semuanya adalah jaminan kehidupan kekal di surga nanti. Hal inilah yang Paulus pegang teguh (ayat 19) sehingga seberat apapun masalah yg dihadapinya, semua menjadi tidak masalah bila dibandingkan dengan jaminan hidup kekal yg sudah pasti akan diterima.